Abstrak
Adaptasi teknologi di suatu negara tergantung dari berbagai faktor, antara lain yang paling dominan adalah sistem politik, ekonomi, dan media negara tersebut. Indonesia, negara demokratis dengan populasi sangat besar serta derajat kebebasan media yang besar, sangat memungkinkan munculnya berbagai adaptasi teknologi dengan baik dan cepat. Teknologi yang diadaptasi dapat berupa hardware atau software.
Teknologi Digital Video Recorder (DVR) mulai merambah pasar Indonesia tahun 2010. DVR adalah alat perekam siaran TV yang memberikan kenyamanan pada penonton, karena DVR dapat merekam siaran favorit disaat kita menonton siaran di channel lain secara bersamaan. Namun ada kendala; DVR hanya bisa merekam siaran digital, sedangkan Indonesia belum juga merealisasikan program digitalisasi TV. Siaran digital yang dapat direkam oleh DVR di Indonesia hanya siaran TV berbayar Indovision yang hanya dimiliki segelintir orang.
Teori Perspektif payung oleh August E. Grant digunakan sebagai alat analisis penelitian ini. Secara ringkas teori ini menyatakan terdapat lima area yang harus ditinjau dalam memahami teknologi. Lima area tersebut adalah sistem sosial (sistem politik, ekonomi, media), infrastruktur organisasional, hardware, software, dan pengguna individual. Dalam setiap area tersebut juga harus ditinjau empat faktor: enabling, limiting, motivating, dan inhibiting.
Kesimpulan adalah teknologi harus ditinjau dari berbagai aspek sosial manusia, secara individu, sistem, maupun kelompok. Hal ini akan membantu untuk memahami hambatan apa yang menyebabkan suatu teknologi tak dapat beradaptasi dengan, misalnya teknologi DVR di Indonesia.
BAB 1
PENDAHULUAN
v Latar Belakang
Teknologi tidak muncul hanya karena dia ada, namun karena dilatrbelakangi berbagai faktor yang terkait dengan masyarakat. Teknologi dapat dilihat sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai ketika kita memandangnya dari kegiatan manusia sebagai penggunanya, misalnya praktek penggunaan dan manfaatnya sebagai simbol status. Teknologi bukan lagi bagian yang terpisah, namun merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sarat dengan nilai. Istilah teknologi adalah istilah yang memiliki banyak definisi. Pacey dalam bukunya memperkenalkan konsep “technology-practice” atau praktek teknologi untuk merepresentasikan bahwa teknologi tidak bebas nilai, ia terkait dengan aspek sosial kemanusiaan.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa adaptasi teknologi di suatu negara tergantung dari berbagai faktor, antara lain yang paling dominan adalah sistem politik, ekonomi, dan media negara tersebut. Indonesia, negara demokratis dengan populasi sangat besar serta derajat kebebasan media yang besar, sangat memungkinkan munculnya berbagai adaptasi teknologi dengan baik dan cepat. Teknologi yang diadaptasi dapat berupa hardware atau software.
Suatu teknologi home video bernama Digital Video Recorder (DVR) mulai merambah Indonesia sejak 2010. Sesuai dengan namanya, alat ini dapat merekam siaran program TV dalam bentuk siaran digital. Alat ini dapat merekam siaran TV favorit ketika penggunanya menonton siaran lain bahkan alat ini dapat mendeteksi iklan sehingga tidak ikut terekam. DVR sudah lama berkembang di pasar Amerika dan Eropa. Penetrasi alat ini ke Indonesia dilihat sebagai salah satu peluang yang baik karena Indonesia adalah pasar yang besar. Berdasarkan data KPI disebutkan bahwa dari 200 juta penduduk Indonesia, terdapat 30 juta yang memiliki TV.
Adaptasi teknologi DVR di Indonesia rupanya tak semudah itu. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa alat ini hanya dapat merekam siaran TV digital dan tidak memiliki TV tuner analog. Sedangkan sistem media di Indonesia masih menggunakan sistem analog. Rencananya, Indonesia baru akan menerapkan sistem digitalisasi TV pada 2015 secara menyeluruh, sedangkan uji coba sudah dilakukan di Jakarta dan sekitarnya sejak 2008 lalu. Sementara ini, DVR hanya dapat merekam siaran program TV kabel berbayar seperti Indovision. Padahal, dari 30 juta penduduk Indonesia yang memiliki TV hanya terdapat 1,5 juta pelanggan TV kabel. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi teknologi DVR menemui kendala jika dilihat dari faktor pengguna individual di Indonesia, begitu juga jika dilihat dari sistem media di Indonesia.
Teknologi Digital Video Recorder (DVR) mulai merambah pasar Indonesia tahun 2010. DVR adalah alat perekam siaran TV yang memberikan kenyamanan pada penonton, karena DVR dapat merekam siaran favorit disaat kita menonton siaran di channel lain secara bersamaan.
Namun ada kendala; DVR hanya bisa merekam siaran digital, sedangkan Indonesia belum juga merealisasikan program digitalisasi TV. Siaran digital yang dapat direkam oleh DVR di Indonesia hanya siaran TV berbayar Indovision yang hanya dimiliki segelintir orang. Adaptasi teknologi DVR di Indonesia terganjal beberapa faktor dalam penerapan teknologi, yaitu faktor sistem media, kemampuan ekonomi dalam menerapkan teknologi baru, hingga ke pengguna individual.
BAB 2
PEMBAHASAN
v Teori Perspektif Payung dalam Teknologi Komunikasi
Hal yang dapat diamati secara jelas dalam teknologi, adalah perkembangan peralatannya atu hardware. Hardware adalah bagian tangible dari sistem teknologi, dan umumnya sistem teknologi baru dimulai dari perkembangan hardware. Namun bagaimanapun suatu sistem teknologi tidak boleh hanya dipahami dari sisi hardware nya saja. Pesan yang dikomunikasikan melalui hardware tersebut, yaitu software, juga tak kalah pentingnya. Hardware dan software rupanya harus dipelajari dalam konteks yang lebih besar pula. Seperti yang dikutip Rogers (1986), definisi teknologi komunikasi melibatkan sejumlah kontekstual faktor: “the hardware equipment, organizational structures, and social values by which individuals collect, process, and exchange information with other individuals”
Menurut Rogers, kontekstual faktor tersebut adalah struktur organisasi masyarakat serta nilai social. Ahli lainnya, Ball-Rokeach (1985) dalam teori dependency sistem media menyebutkan faktor yang lebih kompleks dalam memahami teknologi:
“Communication media can beunderstood by analyzing dependency relations within and across levels of analysis, including the individual, organizational,and system levels. Within the system level, Ball-Rokeach (1985) identifies three systems for analysis: the media system, the political system, and the economic system. “
Secara singkat, menurut Ball-Rokeach sistem media dapat dipahami dari hubungan level individual, organisasional, dan sistem. Terdapat tiga sistem, yakni sistem media, politik, dan ekonomi.Kedua pendekatan tersebut telah disimpulkan dalam “Perspektif Payung pada Teknologi Komunikasi” yang digagas oleh August E. Grant.
Bagian bawah payung terdiri dari teknologi hardware dan software. Level selanjutnya adalah infrastruktur organisasional, maksudnya, kelompok-kelompok yang terlibat pada produksi dan distribusi teknologi. Pada bagian paling atas adalah level sistem, yaitu sistem politik, ekonomi, dan media. Terakhir, ‘pegangan’ dari payung tersebut adalah pengguna individual. Hal ini berarti bahwa hubungan antara pengguna dengan teknologi harus dianalisis sesuai dengan urut-urutan atau hierarki tersebut, sehingga dapat dipahami bagaimana ‘pegangan’ tersebut bisa mengkonsumsi teknologi. Asumsi dasar dari perspektif payung ini adalah semua lima area dalam payung tersebut harus dianalisis untuk memahami teknologi secara utuh.
Terdapat faktor lain yang mempengaruhi masing-masing bagian di payung tersebut. Faktor-faktor ini bertujuan untuk mengidentifikasi akibat karakteristik suatu teknologi. Faktor-faktor tersebut adalah “enabling”, “limiting”, “motivating”, dan “inhibiting”:
a) Faktor “enabling”: berbagai hal yang menyebabkan teknologi beradaptasi. Misalnya, ditemukannya kabel coaxial yang dapat membawa lebih banyak channel TV dibanding kabel tradisional adalah faktor enabling pada level hardware. Keputusan pemerintah dalam porsi distribusi sinyal bisa menjadi enabling faktors pada level sistem politik.
b) Faktor “limiting”: berbagai hal yang menjadi penghalang bagi adaptasi teknologi. Contoh terbaik adalah dilema televisi kabel. Meskipun kabel coaxial dapat mentransmisikan lebih banyak channel, namun jaringan kabel coaxial analog yang masih banyak digunakan tidak dapat mentransmisikan lebih dari 100 channel. Ini jelas memperlihatkan limitasi pada level hardware. Selain itu, jika pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang memperbolehkan beredarnya sinyal digital, namun hanya ada dua stasiun TV yang mau menyiarkan siaran digital, maka hal tersebut merupakan faktor limitasi pada level organisasional.
c) Faktor “motivating” : faktor-faktor yang menjadi alasan adaptasi teknologi. Teknologi tidak diadaptasi hanya karena mereka ada. Pengguna individual, organisasional, dan sistem harus memliki alasan yang dapat menguntungkan mereka ketika mengadaptasi teknologi. Misalnya, keinginan perusahaan telepon utnuk mencetak profit yang tinggi, dibarengi tingginya permintaan telepon di daerah-daerah terpencil, adalah faktor motivating pada tahap organisasional sehingga perusahaan telepon ‘x’ memasuki pasar teknologi komunikasi baru. Contoh lain, keinginan pengguna individual untuk mendapatkan informasi secara cepat dapat menjadi faktor motivating pada level individual.
d) Faktor “inhibiting” : faktor-faktor yang menjadi halangan bagi adaptasi atau penggunaan teknologi komunikasi baru. Hal paling mudah dalam faktor inhibiting adalah kompetisi antar teknologi bagi teknologi baru maupun yang sudah ada. Hal ini akan berakibat pada pemilihan cost yang dikeluarkan pengguna individual. Setiap pengguna individual akan mempertimbangkan apakah cost yang dikeluarkan sesuai dengan servis yang ia dapat jika dibandingkan dengan teknologi lain.
Keempat faktor tersebut dapat diidentifikasi pada level sistem, organisasional, software, dan pengguna individual. Level hardware hanya bisa dianalisis faktor enabling dan limiting nya saja, karena hardware tidak dapat menyediakan faktor motivating. Faktor motivating berasal dari pesan yang disampaikan (software) atau salah satu level lain di payung tersebut.
Dalam banyak kasus, faktor organisasional dan sistem politik biasanya lebih penting dalam perkembangan dan adaptasi teknologi komunikasi baru daripada level hardware. Misalnya, kebijakan politis dan ekonomi harus terlibat banyak dalam standarisasi produksi dan transmisi high-definition television (HDTV). Sama halnya dengan faktor organisasional, misalnya, kebijakan IBM untuk memasuki pasar pada 1980 yang akhirnya berdampak pada standarisasi Operating System (OS) di seluruh dunia.
A. Teknologi Digital Video Recorder (DVR)
Teknologi video dalam rumah yang baru di Indonesia adalah Digital Video Recorder (DVR). Inti dari teknologi DVR adalah adalah hard drive berkapasitas besar yang dapat merekam selama lebih dari 40 jam. Namun hal yang paling istimewa adalah otak komputer yang mengontrolnya. DVR dapat mencari dan merekam program favorit pemiliknya. Ia juga dapat merekam dan memutar ulang di saat yang sama. Program ini juga mampu mem-pause dan rewind suatu program live di TV. DVR membiarkan pemirsa membuat sendiri instant replay dan jeda dan program mundur. Dengan bantuan dari jadwal TV saat ini yang didownload melalui sambungan telepon atau TV kabel, mereka dapat melacak tayangan favorit, rekaman seluruh American Idol, dan bahkan menghilangkan tayangan ulang. Teknologi ini juga memungkinkan untuk melewatkan iklan, sebuah fitur yang mengancam keberadaan kedua lembaga penyiaran komersial dan saluran kabel dasar.
DVR mulai memasuki pasar Indonesia pada November 2010 lalu. Seperti namanya, perangkat ini memliki kemampuan untuk merekam tayangan TV digital. DVR tidak memiliki TV tuner analog. Salah satu keunggulan yang dimiliki DVR adalah adanya TV Tuner ganda sehingga pemirsa dapat merekam dan menonton dua saluran yang berbeda. Selain kemampuannya merekam, DVR yang beredar di Indonesia ini juga pada dasarnya adalah sebuah perangkat pemutar multimedia. Ia mendukung beragam format video, seperti FLV, MKV, atau RMVB. Keunggulan lainnya perangkat ini, jika terdapat Ethernet misalnya, maka ia dapat terhubung ke jaringan rumah dan berfungsi sebagai pemutar multimedia jaringan atau NAS (Network Attached Storage). Jika dihubungkan ke internet, perangkat ini juga bisa diakses dari jauh, baik itu untuk memutar video/lagu secara streaming atau menyimpan file.
B. Digitalisasi di Indonesia
v Definisi Sistem Digital pada Televisi
Penyiaran TV digital secara umum didefinisikan sebagai pengambilan atau penyimpanan suara secara digital, yang pemrosesannya (encoding-multiplexing) termasuk proses transmisi dilakukan secara digital pula. Kemudian setelah melalui proses pengiriman (receiving) melalui udara, proses penerimaan pada pesawat penerima, baik penerimaan tetap di rumah (fixed reception) maupun yang bergerak (mobile reception) dilakukan secara digital pula. Berdasarkan definisi tersebut, upaya digitalisasi tersebut lebih terfokus pada sinyal digital yang ditransmisikan pada pemancar, sehingga pesawat TV yang ada sekarang (analog) cukup ditambah set-top box agar dapat menerima sinyal digital.
Konvergensi sistem TV analog ke TV digital memiliki banyak manfaat. Berikut beberapa alasan yang mendasari perlunya migrasi ke sistem TV digital :
a) Efisiensi spektrum frekuensi
Dalam TV digital, satu kanal frekuensi bisa digunakan sekaligus untuk beberapa program siaran. Jika dibandingkan dengan TV analog, satu kanal hanya bisa untuk satu program siaran.
b) Peningkatan kualitas dan keandalan
Kualitas TV digital jauh lebih baik dibandingkan TV analog karena TV digital bebas dari derau. Hal ini membuat kualitas gambar dan keandalan siaran TV digital jauh lebih baik.
c) Kompatibilitas
TV digital memiliki format standar di seluruh dunia untuk program siaran, yaitu MPEG-2. Hal ini berarti dengan adanya TV digital maka beberapa standar siaran TV analog seperti NTSC, PAL, maupun SECAM dapat disiarkan dalam saru format saja, MPEG-2.
d) Skalabilitas
Siaran digital memungkinkan peningkatan lebar layar televisi, dari bentuk layar standar yaitu SDTV (Standard Definition TV) ke EDTV (Enhanced Definition TV) atau bahkan HDTV (High Definition TV).
v Migrasi Analog ke Digital
Secara umum di dunia, migrasi sistem analog ke digital pada televisi sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Misalnya, Jerman telah memulai proyek digitalisasi pada 2003 dan Inggris telah melakukan percobaan mematikan penyiaran TV analog pada 2005. Eropa berencana untuk menghentikan total sistem analog pada 2012. Pada regional Asia, Jepang akan melakukan hal serupa pada 2011, sementara Singapura telah meluncurkan TV digital sejak Agustus 2004 dan sudah 250.000 rumah yang menikmati.
Lantas bagaimana dengan Indonesia yang berpenduduk banyak dan tentunya membutuhkan variasi siaran program TV? Langkah pembuka sebenarnya sudah dimulai sejak 1997 dalam format TV digital satelit. Sejak tahun 2004 di bawah koordinasi Tim nasional Migrasi Televisi dan Radio dari Analog ke Digital, telah dilakukan berbagai kajian terhadap implementasi penyiaran TV digital. Bahkan uji coba siaran TV digital telah dilakukan sejak pertengahan 2006 dengan menggunakan kanal 34 UHF untuk standar DVB-T dank anal 27 UHF untuk standar T-DMB.Akhirnya setelah melalui serangkaian telaah ilmiah dan kosultasi seperti yang disebutkan di atas, Pemerintah pada tahun 2007 menetapkan akan menggunakan standar siaran seperti yang digunakan di kawasan Eropa (DVB-T). Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 07/P/M. KOMINFO/3/ 2007, yang ditandatangani Menkominfo Sofyan Djalil, pada 21 Maret 2007, tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, disebutkan bahwa pemerintah menetapkan DVB-T (Digital Video Broadcasting-Terestrial)sebagai standar penyiaran TV digital untuk pengguna tidak bergerak di Indonesia. Sedangkan satandar TV digital untuk pengguna bergerak (mobile) belum ditentukan.
Peraturan menteri tersebut jelas keputusan yang amat penting, karena menjadi pemandu bagi arah perkembangan penyiaran TV digital di masa mendatang. Meskipun masih banyak hal yang harus dipersiapkan pemerintah dalam digitalisasi seperti standarisasi perangkat dan timeline implementasi digitalisasi. Namun peraturan resmi pemerintah tersebut dapat dijadikan acuan bagi komponen masyarakat yang terlibat dalam dunia penyiaran televisi dan produsen alat elektronik untuk bersiap-siap.
v Standar Penyiaran TV Digital di Dunia
Terdapat beberapa standar TV digital yang digunakan Negara-negara maju di dunia. Pemilihan standar tersebut disesuaikan dengan kondisi Negara, sehingga kelebihan yang dimiliki satndar tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Berikut gambaran singkatnya, sehingga dapat dikaji standar yang terbaik bagi Indonesia:
a) DVB-T (Digital Video Broadcasting Terrestrial)
DVB-T adalah standar yang diberlakukan di semua negara Eropa serta sejumlah negara di Asia dan Australia. Pertama kali diluncurkan pada September 1998 dan berbasis teknik OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) yang dikombinasikan dengan interleaving. Memiliki kelebihan dalam menjangkau TV yang bergerak, bahkan di dalam mobil yang berkecepatan tinggi. Gabungan kedua teknik tersebut juga menyebabkan DVB-T memiliki jetahan tinggi terhadap berbagai gangguan akibat kondisi kanal buruk dengan adanya derau, lintasan jamak, dan variasi daya terima karena fading. Kelebihan lainnya, DVB-T juga dapat diimplementasikan dalam mode SFN (Single Frequency Network) dimana suatu operator dapat memasang beberapa pemancar dengan frekurnsi yang sama tersebar pada suatu area dengan tujuan memperluas dan memperbaiki kualitas cakupan tanpa perlu menambah frekuensi.
b) ISDB-T (Integrated Services Digital Broadcasting Terrestrial)
ISDB-T adalah standar penyiaran yang diberlakukan di Jepang dan dirilis sejak 1 Desember 2003. Sistem ISDB-T ini menggunakan BST-OFDM (Band Segmented Transmission – OFDM) sebagai sistem transmisi. Satu kanal TV selebar 6 MHz dibagi ke dalam 13 segmen yang masing-masing dimodulasi secara OFDM yang dilengkapi dengan time interleave yang membuat sistem ini lebih tahan menghadapi gangguanmultipath, impulse noise, dan fading sehingga cocok sebagai aplikasi mobile reception.
c) ATSC (Advanvanced Television Systems Committee)
ATSC merupakan standar yang diberlakukan di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan beberapa Negara di Asia. Pertama kali diluncurkan pada 1 November 1998 dengan mengirimkan sinyal TV digital dengan teknik modulasi amplitudo digital yang dipadu dengan pemfilteran VSB untuk membatasi bandwith. ATSC dipandang lebih sesuai untuk penerima TV yang tidak bergerak dan sejak semula memang dirancang untuk mampu mengantarkan sinyal HDTV (High Definition TV).
d) T-DMB (Terrestrial-Digital Multimedia Broadcasting)
Sistem T-DMB dikembangkan di Korea Selatan yang merupakan modifikasi aplikasi sistem radio DAB (Digital Audio Broadcasting) pada band VHF (6 MHz). DAB dipilih karena telah teruji keterandalannya, di samping karena efisien dalam penggunaan frekuensi dan besaran bit-rate yang cukup untuk siaran TV digital.
e) DMB-T (Digital Multimedia Broadcasting Terrestrial)
Ini merupakan standar yang dirilis paling akhir, dikembangkan di China yang merupakan modifikasi dari DVB-T. Keunggulan sistem ini adalah dilengkapi dengan siyal sinkronisasi yang dikirim terpisah dari sinyal TV sehingga memberikan ketahanan lebih tinggi bagi sinyal sinkronisasi terhadap derau dan interferensi sehingga proses pendeteksian sinyal TV menjadi lebih baik pula.
v Level Sistem
Level paling atas dari perspektif payung adalah level sistem, salah satunya sistem politik. Untuk memahami adaptasi teknologi pada suatu Negara, maka kita harus menganalisis apakah sistem politik di Negara tersebut mendukung teknologi yang ada. Dalam hal adaptasi DVR yang hanya bisa merekam siaran TV digital saja, maka dari sisi level sistem politik harus dikaji kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan migrasi sistem analog menuju digital di Indonesia.
Pemerintah pada tahun 2007 menetapkan akan menggunakan standar siaran seperti yang digunakan di kawasan Eropa (DVB-T). Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 07/P/M.KOMINFO/3/ 2007, yang ditandatangani Menkominfo Sofyan Djalil, pada 21 Maret 2007, tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, disebutkan bahwa pemerintah menetapkan DVB-T (Digital Video Broadcasting-Terestrial)sebagai standar penyiaran TV digital untuk pengguna tidak bergerak di Indonesia.
Terdapat Peraturan Menteri yang diterbitkan Departemen Komunikasi dan Informatika pada 2009, yaitu Peraturan Menteri Nomor 39/PER/M.KOMINFO/10/2009 yang mengatur tentang Kerangka Dasar Penyelenggaraan Penyiaran Televisi (TV) Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air). Isi Peraturan Menteri itu secara umum adalah penyiaran TV digital bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan penyiaran, meningkatkan kualitas penerimaan program siaran televisi, memberikan lebih banyak pilihan program siaran kepada masyarakat, mendorong konvergensi layanan multimedia, dan menumbuhkan industri konten, perangkat lunak, dan perangkat keras yang terkait dengan penyiaran televisi digital. Di mana penyelenggara penyiaran televisi digital terdiri atas, penyelenggara program siaran yaitu stasiun TV swasta, TVRI, serta penyelenggara infrastuktur. Penyelenggaraan infrastruktur dibagi lagi menjadi penyelenggara multipleksing publik dan swasta. Serta disebutkannya ketentuan mengenai penyediaan menara.Dari penjelasan tentang peraturan pemerintah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Faktor enabling pada level sistem politik ini adalah diterbitkannya keputusan pemerintah yang mengatur tentang standar siaran digital yang akan diaplikasikan di Indonesia.
2) Faktor motivating pada level sistem politik ini adalah pemerintah dapat menggunakan sisa frekuensi yang sudah tidak digunakan jika stasiun TV menggunakan sistem digital untuk kepentingan lain. Hal ini karena sistem digital dapat multiplexing, dimana satu kanal frekuensi dapat digunakan beberapa stasiun televisi.
v Sistem Ekonomi
Digitalisasi televisi akan banyak berpengaruh pada pelaku usaha, terutama yang bergerak di bidang telekomunikasi. Pasalnya, perubahan sistem akan menyebabkan munculnya industry-industri baru. Akan ada jasa multiplexing yang dulunya tidak ada. Kebutuhan ini dapat menjadi peluang bagi para pengusaha untuk mendirikan jasa multiplexing sebelum diserobot oleh pihak asing. Digitalisasi televisi juga membutuhkan adanya set top box utnuk menerima sinyal digital yang ditransmisikan. Pelaku usaha juga dapat memanfaatkan kebutuhan pasar tersebut jika nantinya digitalisasi diberlakukan. Semua hal ini menjadi faktor motivating pada level sistem ekonomi.
v Level Organisasional
Organisasional adalah kelompok-kelompok yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi teknologi. Dalam hal digitalisasi televisi agar adaptasi DVR dapat berkembang di Indonesia, maka organisasionalnya adalah stasiun-stasiun televisi yang ada di Indonesia, mengingat mereka yang harus menanamkan investasi untuk membangun jaringan infrastruktur TV digital. Disini Nampak adanya faktor inhibiting, karena cost yang dikeluarkan oleh stasiun televisi. Faktor inhibiting lainnya adalah belum dikeluarkannya peraturan dari Pemerintah yang membahas lebih rinci mengenai perizinan dan penyelenggaraan TV digital, sehingga para pelaku industry belum bisa mempersiapkan diri secara rinci. Namun terdapat faktor motivating pada level ini yaitu stasiun tv bisa berhemat karena bisa membiayai infrastruktur penyiaran digital secara bersama-sama.
v Level Hardware
Dalam proses digitalisasi, hal yang difokuskan adalah pengiriman dan pemrosesan sinyal secara digital. Sehingga TV analog yang sekarang masih digunakan di Indonesia sebenarnya masih dapat difungsikan jika ditambahkan alat yang bernama set top box, yaitu alat yang dapat menagkap sinyal digital. Jika kelak digitalisasi akan diimplementasikan, maka diperlukan banyak produksi set top box untuk TV analog yang dinikmati hampir 30 juta penduduk Indonesia. Maka hal ini menjadi faktor limiting karena dimungkinkan masyarakat akan mempertimbangkan cost yang akan dikeluarkan. Faktor limiting lainnya adalah diperlukannya banyak pemancar baru dan infrastruktur lainnya untuk mengirimkan sinyal digital.
v Level Pengguna Individual
Jika kesemua faktor di atas sudah dapat dipenuhi, maka adaptasi teknologi barulah dapat dinikmati oleh pengguna individual. Pengguna individual memiliki faktor motivasi yang besar, yakni akan menikmati gambar yang lebih jernih dan dapat menikmati gambar di kendaraan bergerak dengan kualitas yang stabil. Namun juga terdapat faktor inhibiting yaitu cost yang akan dikeluarkan pengguna individual untuk membeli set top box atau mengganti TV nya menjadi TV digital.
BAB 3
PENUTUP
v Kesimpulan
Kesimpulan ini adalah untuk memahami cara adaptasi teknologi harus ditinjau dari berbagai level yang berkaitan dengan manusia dan teknologi tersebut. Menurut teori perspektif payung, teknologi harus dikaji dari level sistem (politik, ekonomi, media), level organisasional yang melibatkan pelaku industry yang terlibat teknologi tersebut, level hardware, level software, hingga level pengguna individu.Untuk kasus adaptasi teknologi Digital Video Recorder (DVR) di Indonesia, rupanya mengalami kesulitan karena di berbagai level tersebut masih terdapat faktor limiting dan inhibiting.
v Saran
Diharapkan dilakukan penelitian lanjutan tentang adaptasi teknologi, terutama DVR, di Indonesia. Juga dilakukan penelitian pembanding adaptasi teknologi tersebut di Negara yang sama-sama dalam proses migrasi ke digital seperti Indonesia.
No comments:
Post a Comment